Kembalinya Pangeran Kecil
“Bro, pacar lo kenapa sih? Mukanya tadi pucet banget pas jalan ke
kelasnya. Gua tadi manggil dia diem aja. Aneh banget. Serasa bukan Karen.” Kata
Ezar sama Bintang.
“Lo aja gitu, apa lagi gua, Zar, pacarnya. Gua udah kayak orang awam. Gua
serasa bukan pacarnya. Apa iya gua terlalu sibuk ya akhir-akhir ini sama basket
dan osis?” kata Bintang mengingat-ingat aku yang sering bbmnya, namun dia tak
pernah membalasnya dan juga menelpon tak pernah diangkat. Tak bilang sama
sekali.
“Yakali tang. Gua ga ngerti gitu-gituan”
“Lo mah jadi orang kelewat kalem sih, Zar, saking kalemnya lo ditindas
mulu sama Nadia, haha”
“Sialan lo emang. Tapi gini-gini gua langgeng esss”
“Gua yakin, pasti Nadia kasihan doang sama lo. Haha”
“Udahan ah, abis ini pelajaran bokap gua nih. Gua mau belajar dulu ya”
Tak lama, tiba-tiba ada bbm masuk ke hpnya Bintang dari
Nadia.
‘Nadia Hutagallung: Di kelas gue
ada anak baru. Namanya Diaz. Rara akrab banget sama dia, katanya temen lama.’
‘Bintang Pratama: Cuman gitu aja?
Diaz? Pindahan dari mana nad?’
‘Nadia Hutagallung: Dari Aussie
katanya, udahan yak. Gue lagi bareng sama Diaz ke kantin tadi. Gue ke kelas
dulu ya. Udah bel kan?’
‘Bintang Pratama: Yaudah, nanti
pulang kita langsung ke PIM. Lo kan sahabatnya Karen, masa lo gatau. Kalo
cerita disini kepanjangan. Males gua ngetiknya’
***
“Gimana sekolah gw? Keren kan? Ga kalahkan sama yang di Aussie?” kata aku
kepada Diaz sedikit menyombongkan diri.
“Lumayan. Mungkin karena ada lo disini.”
“Maksud lo?”
“Gua masih nyimpen rasa ‘itu’ semenjak gua pergi. Maaf gua ga ngasih tau
lo sebelumnya”
“Itu apa? Masa lalu, gausah dibahas. Yang lalu biar aja berlalu.”
“Gua masih sayang dan cinta sama lo.”
Aku kaget. Hening sejenak. Dan tiba-tiba, bunda keduanya
Bintang, Mrs.Safitri come in to my class. Yap! Guru biologi. Aku tak
membalasnya. Aku berusaha memfokuskan ke pelajaran.
***
Diaz adalah -yang
hampir mau menjadi- pacar aku saat SMP. Nama panjangnya Kesha Diaz Wirifqi.
Saat itu aku dan dia terjebak dalam situasi yang tidak kita mengerti sama
sekali. Dimana ketika kita bertemu selalu deg-degan dan saling melempar senyum.
Timbul rasa khawatir ketika salah satu sakit.
Namun, ketika waktu itu datang. Ketika kesempatan untuk
menyatakannya, dia harus pergi. Yap! Diaz pergi ke Aussie, tinggal menetap
disana. Entah apa yang aku rasakan saat itu. Memusat kepada satu inti, sakit
dalam hati. Semenjak itu aku memutuskan untuk fokus ke pelajaran.
Semakin kita berusaha melupakan seseorang, semakin kita
teringat waktu bersama seseorang itu. Yap! Jadi semakin kita berusaha fokus ke
pelajaran, bukannya benar-benar fokus, malahan jadi kepikiran terus bagaimana
kabar seseorang itu. Padahal belum tentu seseorang itu melakukan hal yang sama
pada kita, benar?
***
Setelah melewati beberapa peristiwa dan pelajaran exact yang memusingkan, akhirnya bel
pulang pun berdering. Sementara teman-teman kelasku sedang membereskan
buku-bukunya di meja, aku pamit duluan untuk pulang. Aku keluar diam-diam tanpa
diketahui oleh Nadia dan Diaz. Diaz yang mencariku, akhirnya bertanya sama
Nadia, orang kedua yang ia kenal setelah aku.
“Nad, si Rara udah pulang duluan ya? Kok gua ga liat ya dia keluar kelas?”
tanya Diaz panik.
“Oh iya ya. Mana tuh orang ya? Gue belom minjem buku catetannya lagi,”
Nadia sambil celingak-celinguk melihat isi kelas yang masih gaduh.
“Lah? Emang biasanya dia pulang bareng siapa? Lo dari tadi ga nyatet?
Pelajaran apa? Nih gua dari tadi nyatet,” Diaz terheran-heran, mengapa Nadia
bisa sesantai itu, padahal sudah kelas 12.
“Lo kan duduk di sampingnya, masa gatau sih?”
“Eh kita duduk sampingnya Rara kali. Lo sebelah kirinya, gua sebelah
kanannya. Yang heran kita sendiri. Bego amat sih kita,” ketawa kecil dan
sedikit bingung.
“Eh iya ya. Ternyata lo yang dari Aussie sama
aja begonya sama yang kayak di Indonesia. Haha,” herannya Nadia mengakui
kebodohannya sambil ketawa. Tertanda emang dia jodohnya Ezar. Sifatnya mirip
dengan Ezar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar