Sweet Lying
‘Kok taksi jarang sih. Giliran
bareng sama Bintang ada aja yang lewat’ gumamku dalam hati. Mengingat
deretan taksi biasanya menunggu di depan lobby sekolahku ketika bel pulang
berbunyi. Tak lama, ada junior yang menyapaku.
“Ka Karen ga bareng sama Ka Bintang?”
“Eh kamu Cin. Kakak boleh bareng ga? Kaka mau ke arah rumah kamu”
“Ayo ka masuk,” ia langsung membukakan pintu mobilnya untukku.
Cindy adalah salah satu junior yang dekat denganku dari
beberapa junior. Tak banyak junior yang rada sinis melihat kemesraan aku dengan
Bintang di sekolah. Maklumlah, Bintang termasuk ke dalam deretan cowo favorit
di sekolah. Bintang sering terlibat dalam acara inti ekstrakulikulernya dan
beberapa organisasi. Buatku tak masalah ia sibuk.
Setelah beberapa menit ada di mobilnya Cindy…
“Kok tumben sih kaka ga bareng sama Ka Bintang?”
“Hm. Gapapa kok dek, males aja. Lagian beda jalur.”
“Oh gitu. Kok kaka mau ke arah rumahku sih? Kan jauh dari rumahnya kaka,”
katanya khawatir melihat mukaku yang masih pucat sehabis mimisan tadi.
“Kan ada taksi dek. Tenang aja, hehe,” sambil ketawa.
“Tadi kaka mimisan? Muka kaka pucet banget tauk.”
“Kebentur dek. Sok tau banget kamu kaka mimisan. Masa?”
“Iya ka pucet banget!”
Lalu aku megambil kaca di tasku. Iya memang benar. Lalu
aku hanya melihat keluar jalan. Hanya terdiam. Hanya mendengarkan alunan lagu
dari tape mobilnya Cindy. Lalu mengambil iPhone aku. Ternyata ada sms dari si
bibi. ‘Non, den Bintang bbm nih. Bibi
jawab ga?’ Mengingat tadi pagi sengaja bertukaran handphone. Aku mulai
bosan dengan hp yang hanya mempunyai keunggulan bbm saja. Lalu aku jawab ‘Gausah bi. Diemin aja’.
Lalu aku membuka Twitter dan menge-tweet ‘Otw to @cindycandy’s area’ habis itu
keluar dari Twitter dan membuka Facebook. Akun ini cukup lama tak kubuka, dan
entah kenapa aku ingin membukanya. Aku hanya melihat beberapa foto yang di
upload 9 bulan lalu. Melihat foto-fotoku bersama Nadia, Ezar, dan Bintang.
Mengingat anniversary yang ke 18 bulan. Melihat foto berduaku dengan Bintang,
di salah satu tempat hiburan yang menyajikan berbagai macam wahana yang sangat
menarik. Disana aku menantang Bintang untuk naik salah satu wahana terbaru, aku
kira ia akan takut dan pusing sehabis menaiki itu. Ternyata salah dan kebalikan
malah aku yang kena.
***
Tak menyadari, bahwa sudah sampai ke tempat yang kutuju.
Lalu aku bilang untuk berhenti dan aku mengambil tasku. Ketika ingin membuka
pintu, ucapan Cindy memberhentikanku.
“Kaka mau ke….rumah sakit? Kenapa, Ka? Siapa yang sakit?” dia terkejut.
Dia baru menyadari bahwa itu salah satu rumah sakit mewah dekat rumahnya, yang
beberapa jarak sampai ke cluster rumahnya.
“Mau jenguk temen lama Kaka. Katanya sakit tipes, dirawat disini. Makasih
ya dek udah tebengin kaka, hehe.”
Padahal dalam hati, aku hanya menjawab ‘Yang sakit sebenarnya kaka dek, kaka mau nyimpen
ini sendirian’
“Oh gitu Ka, hati-hati ya Ka, nanti pulangnya.”
“Iya, Dek.” lalu berjalan menjauhinya sambil melambaikan tangan.
***
Ketika ingin sampai ke meja resepsionis, hpku bergetar ‘Bintangku calling’. Aku bingung mau
mengangkat atau tidak, secara, ini rumah sakit, apalagi ketika sore hari.
Pengunjung yang datang pun tak bisa mengidahkan kata-kata dilarang berisik.
Akhirnya aku mencari-cari toilet perempuan.
“Kamu les dimana? Kalo pake iPhone tuh bilang! Bbm ga dibales-bales.”
“Bbnya dipake sama bibi. Aku tukeran. Iya-iya.”
“Emang kamu les dimana?”
“Di sektor 5,”
“Pulang nanti mau dijemput ga?”
“Gausah. Aku naik taksi aja ya?”
“Hati-hati nanti pulangnya pumpkin,”
dia mengakhiri telponnya dengan kecupan jarak jauh lewat telpon. Lalu aku mulai
berpikir untuk membelikan sebuah handphone
yang biasa-biasa saja, untuknya dan untuk anaknya di kampung setelah pulang
dari tempat ini. Mengingat bibi yang tak mengerti bbm, hanya bisa membacanya
saja. Bahkan sudah dibuatkan akun facebook dan twitter, tetap saja ia tak
mengerti cara menggunakannya.
***
“Tuh kan gua bilang apa, Zar, Nad. Dia responnya jadi dingin gitu,” kata
Bintang mulai sesi curhatnya kepada Ezar dan Nadia.
“Lo juga sih Tang, lo terlalu sibuk sama sosis sama basket. Belom lagi ec
lo. Ga capek apa?” kata Nadia yang rada sinis kalau Bintang mulai sibuk dan
meninggalkanku.
“Untung gua ga kayak lo, Tang. Ga sibuk. Makanya gua anteng sama Nadia.
Ya ga, Yang?” Ezar berseru sambil tangannya mulai gentayangan ke pundaknya
Nadia.
“Hm…” Nadia hanya menjawab, mengganggap itu tak terlalu penting.
“Tapi Nad, gua kan udah ga sibuk lagi. Gua sadar kali udah kelas 12.
Lagian kan udah ada penggantinya. Kemaren baru aja pemilihan struktur osis sama
ekskul gua. Jadi gua tenang.”
“Whatever deh, Tang. Tapi liat
deh Rara sekarang. Jadi cuek kan sama lo? Ini mungkin karma buat lo, Ntang.”
“Lo ga tau Zar, apa yang dilakuin sama Nadia tadi istirahat pertama,”
kata Bintang membalas dengan sindiran kepada Ezar.
“Tuhkan Bintang mulai, males gue. Udahan ah, gue pulang,” kata Nadia
merasa tersindir.
“Sud L??” Ezar langsung melirik sinis terhadap Bintang.
“Udah ah. Kan gua traktir lo berdua buat dengerin curhat gua. Gini ya,
akhir-akhir ini si Karen ngindarin gua mulu. Gua bingung sama yang terjadi sama
dia. Nad, lo kan sahabatnya. Masa ga tau apa yang terjadi sama dia? Gua tadi
liat dia lari-lari dan nabrak gua, terus dia lari lagi ke arah WC cewe, terus
gua ikutin. Pas dia keluar, gua liat tissue berdarah. Di hidungnya juga masih
ada sisa darah dikit. Karen sakit apaan sih?”
“Oh, itu abis dari WC, Tang? Seriusan dia mimisan tang? Pantes mukanya
rada pucet, gua panggil kaga nengok-nengok.”
“Hah? Sejak kapan Rara mimisan? Dia ga pernah mimisan dari kelas 10. Gue
tadi ga liat tadi dia mimisan.”
“Makanya, lo jangan ke kantin mulu. Ga lama dari lo keluar kali, tadi aja
dia buru-buru lari ngindarin gua. Mungkin pas udah nyampe kelas lagi, darahnya
udah berhenti.”
“Coba deh Tang, lo hubungin sama kejadian yang pingsan kemaren. Sebelum
pingsan, dia ngeluh apa gitu ga sama lo?” tergelitik naluri detektif Ezar.
“Dia bilang dia pusing. Pas jalan keluar dari mobil dia sempoyongan. Pas
nyampe di tempatnya dia pingsan.”
“Nah, ga mungkin kan kalo misalnya kecapean sampe kayak gitu, mustahil
banget!” Ujar Ezar menerka-nerka.
Nadia yang dari setadi tak mendengar curhatannya
Bintang, tiba-tiba berteriak seru hingga mengagetkan pengunjung starbucks itu.
“Tang, kayaknya Rara boong nih. Dia ga ke sektor 5, dia ke sektor 6.
Rumahnya Cindy di sektor 6 bukan?”
“Lo tau dari mana?”
“Nih gue abis buka twitter, Rara update
sekitar 1 jam yang lalu. Dia nge-tweet
‘Otw to @cindycandy’s area’. Nih lo
liat deh.”
“Ada yang ga beres sama Karen,” kata Ezar mulai memahami permasalahan
yang terjadi.
“Bentar ya, gue bbm Cindy dulu.”
“Yaudah buruan” kata Bintang khawatir.
***
‘Nadia Hutagallung: Dek, kamu tadi
liat ka Karen ga?’
‘Cindy Natalia Veronika: Barusan
aja bareng ka sama aku. Emang kaka gatau? Kaka kan sahabatnya.’
‘Nadia Hutagallung: Kaka gatau tadi
dia pulang duluan. Dia kemana dek?’
‘Cindy Natalia Veronika: Tadi sih
berhenti di rumah sakit ka, katanya jenguk temen lamanya yang sakit tipes.
Katanya dirawat disana’
‘Nadia
Hutagallung: Makasih ya dek infonya’