1. Pokok-Pokok Materi
Pengaturan tindak pidana di bidang ekonomi pada saat
sekarang dapat ditemukan sebagai peraturan perundang-undangan, yaitu disamping
ditemuka dalam UU Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, yang ditetapkan sebagai undang-undang dengan
UU No. 1 Tahun 1961, juga ditemukan dalam banyak peraturan perundang-undangan
di bidang ekonomi lainnya. Dengan demikian tindak pidana ekonomi dapat
dibedakan antara tindak pidana ekonomi dalam arti sempit, yaitu yang bersumber
pada Pasal 1 UU Drt. No. 7 Tahun 1955 dan tindak pidana ekonomi dalam arti
luas, yaitu meliputi:
a.
Perbuatan
pelanggaran terhadap ketentuan peraturan-peraturan di bidang ekonomi yang
diancam dengan pidana dan ini berada di luar UU No. 7 Drt. Tahun 1955. Meskipun
pelanggaran ketentuan-ketentuan ini tidak dinyatakan sebagai tindak pidana
ekonomi, tetapi karena sifat dan bidangnya itu ekonomis, maka
pelanggaran-pelanggarannya dapat dikelompokkan ke dalam tindak pidana di bidang
ekonomi.
Peraturan-peraturan itu
antara lain:
1.
UU No. 14 Tahun
1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan;
2.
Ordonansi Lautan
Teritorial dan Lingkungan Lautan Larangan 1939 (S. 1939-422) jis UU No. 4 Prp.
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, dan
3.
UU No. 6 Tahun
1982 tentang Hak Cipta;
4.
UU No. 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
5.
UU No.11 Pnps.
1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, sepanjang menyangkut bidang
ekonomi;
6.
Ordonansi Tera
1949 (S. 1949-175), dicabut dan diganti dengan UU No. 2 Tahun 1981 tentang
Metrologi Legal.
b.
Perbuatan
pelanggaran beberapa ketentuan dalam KUH Pidana yang menyangkut bidang ekonomi
serta dapat memberi pengaruh terhadap situasi dan perkembangan ekonomi, yaitu
perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan produksi dan distribusi serta dapat
mengurangi kelancaran roda perekonomian, seperti misalnya pemalsuan surat
(Pasal 263) untuk penipuan dalam perbankan, atau penipuan (Pasal 378) dalam
bidang produksi dan distribusi dan juga di bidang perdagangan (Pasal 383) yang
berupa penipuan antara penjual dan pembeli.
Selanjutnya perlu
dipertegas bahwa dalam memperbaiki proses ekonomi, penggunaan Hukum Pidana
Ekonomi merupakan usaha terakhir (ultimum remedium), karena itu
kekurangan-kekurangan yang timbul dalam bidang ekonomi pertama-tama harus
diselesaikan melalui usaha di bidang ekonomi itu sendiri.
2. Problema yang Dihadapi
1.
Mengingat sumber
utama Hukum Pidana Ekonomi adalah UU No. 7/Drt./1955, sedang umur undang-undang
tersebut telah lama dan sangat mungkin tidak sesuai lagi dengan perkembangan
ekonomi, maka dipersoalkan apakah undang-undang tersebut masih tetap dapat
dipertahankan atau perlu diubah.
2.
Dengan
dibedakannya pengertian hukum pidana ekonomi dalam arti sempit dan dalam arti
luas, maka menjadi masalah bagaimana kita dapat menentukan suatu perbuatan
tindak pidana ekonomi pada undang-undang yang satu atau yang lain. Dalam
rangkaian ini dapat dipersoalkan hal-hal berikut:
a.
Sementara tindak
pidana di bidang perbankan tidak banyak diatur dalam UU Perbankan, kita
menyaksikan justru perkembangan tindak pidana di lingkungan perbankan seperti
tindak pidana penipuan, pemalsuan, dan penggunaan alat elektronika tampak
semakin maju.
b.
Selama ini untuk
tindak pidana di lingkungan Perbankan ditetapkan hukum pidana umu, antara lain
UU Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini jelas tidak cukup dan penerapannya
secara tidak mantap dapat membahayakan. Contoh dalam kredit macet, agunan yang
nilainya menurun dapat dianggap merugikan Negara, dan kualifikasi sebagai tindak
pidana korupsi. Ini merupakan suatu kesalahan yang besar, yaitu dalam cara
menjabarkan hukum pidana dalam dunia usaha, dalam hal ini usaha perbankan.
3.
Pengertian
tindak pidana ekonomi sesuai dengan UU No. 7 Drt. 1955 didasarkan pada
kebijaksanaan ekonomi yang ditetapkan pemerintah pada saat itu. seharusnya
kebijaksanaan itu didasarkan pada norma-norma yang bersifat tetap, berlaku umum
serta mempunyai lingkup dunia usaha nasional dan internasional seperti dalam
rumusan business crime dan business tort.
4.
Dalam tindak
pidana ekonomi korban yang menonjol adalah kekayaan Negara. Untuk mencegahnya
apakah tidak lebih baik jika sanksi yang dijatuhkan berupa pengembalian
kerugian yang diderita negara lebih diutamakan. Atas dasar itu sanksi pidana
dalam tindak pidana ekonomi bersifat ultimum remedium, sedangkan
masalah-masalah pidana ekonomi diselesaikan secara dan sesuai dengan
batas-batas hokum ekonomi itu sendiri. Sebagai gambaran tindak pidana ekonomi
termasuk juga UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Lapor Perusahaan yang
mengklasifikasikan sanksi pidananya dengan tindak pidana ekonomi.
5.
Dalam masalah
hokum pidana ekonomi ini terdapat kaitan erat dengan tindak pidana subversi.
Keduanya termasuk dalam tindak pidana ekonomi dalam arti luas. Dengan demikian
definisi tindak pidana ekonomi dapat mencakup:
a.
Tindak pidana
korupsi;
b.
Tindak pidana
subversi;
c.
Tindak pidana
pajak;
d.
Tindak pidana
devisa;
e.
Tindak pidana
penyelundupan, bea dan cukai.
Daftar Pustaka:
Sumantoro, Aspek-Aspek Pidana di Bidang Ekonomi. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990
Tidak ada komentar:
Posting Komentar