Cuteki christmas cards

Kamis, 12 Maret 2015

Pekembangan Ekonomi dan Aspek Pidananya

1.      Pokok-Pokok Materi
Pengaturan tindak pidana di bidang ekonomi pada saat sekarang dapat ditemukan sebagai peraturan perundang-undangan, yaitu disamping ditemuka dalam UU Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, yang ditetapkan sebagai undang-undang dengan UU No. 1 Tahun 1961, juga ditemukan dalam banyak peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi lainnya. Dengan demikian tindak pidana ekonomi dapat dibedakan antara tindak pidana ekonomi dalam arti sempit, yaitu yang bersumber pada Pasal 1 UU Drt. No. 7 Tahun 1955 dan tindak pidana ekonomi dalam arti luas, yaitu meliputi:
a.       Perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan-peraturan di bidang ekonomi yang diancam dengan pidana dan ini berada di luar UU No. 7 Drt. Tahun 1955. Meskipun pelanggaran ketentuan-ketentuan ini tidak dinyatakan sebagai tindak pidana ekonomi, tetapi karena sifat dan bidangnya itu ekonomis, maka pelanggaran-pelanggarannya dapat dikelompokkan ke dalam tindak pidana di bidang ekonomi.
Peraturan-peraturan itu antara lain:
1.      UU No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan;
2.      Ordonansi Lautan Teritorial dan Lingkungan Lautan Larangan 1939 (S. 1939-422) jis UU No. 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, dan
3.      UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta;
4.      UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
5.      UU No.11 Pnps. 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, sepanjang menyangkut bidang ekonomi;
6.      Ordonansi Tera 1949 (S. 1949-175), dicabut dan diganti dengan UU No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.
b.      Perbuatan pelanggaran beberapa ketentuan dalam KUH Pidana yang menyangkut bidang ekonomi serta dapat memberi pengaruh terhadap situasi dan perkembangan ekonomi, yaitu perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan produksi dan distribusi serta dapat mengurangi kelancaran roda perekonomian, seperti misalnya pemalsuan surat (Pasal 263) untuk penipuan dalam perbankan, atau penipuan (Pasal 378) dalam bidang produksi dan distribusi dan juga di bidang perdagangan (Pasal 383) yang berupa penipuan antara penjual dan pembeli.
Selanjutnya perlu dipertegas bahwa dalam memperbaiki proses ekonomi, penggunaan Hukum Pidana Ekonomi merupakan usaha terakhir (ultimum remedium), karena itu kekurangan-kekurangan yang timbul dalam bidang ekonomi pertama-tama harus diselesaikan melalui usaha di bidang ekonomi itu sendiri.

2.      Problema yang Dihadapi
1.      Mengingat sumber utama Hukum Pidana Ekonomi adalah UU No. 7/Drt./1955, sedang umur undang-undang tersebut telah lama dan sangat mungkin tidak sesuai lagi dengan perkembangan ekonomi, maka dipersoalkan apakah undang-undang tersebut masih tetap dapat dipertahankan atau perlu diubah.
2.      Dengan dibedakannya pengertian hukum pidana ekonomi dalam arti sempit dan dalam arti luas, maka menjadi masalah bagaimana kita dapat menentukan suatu perbuatan tindak pidana ekonomi pada undang-undang yang satu atau yang lain. Dalam rangkaian ini dapat dipersoalkan hal-hal berikut:
a.       Sementara tindak pidana di bidang perbankan tidak banyak diatur dalam UU Perbankan, kita menyaksikan justru perkembangan tindak pidana di lingkungan perbankan seperti tindak pidana penipuan, pemalsuan, dan penggunaan alat elektronika tampak semakin maju.
b.      Selama ini untuk tindak pidana di lingkungan Perbankan ditetapkan hukum pidana umu, antara lain UU Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini jelas tidak cukup dan penerapannya secara tidak mantap dapat membahayakan. Contoh dalam kredit macet, agunan yang nilainya menurun dapat dianggap merugikan Negara, dan kualifikasi sebagai tindak pidana korupsi. Ini merupakan suatu kesalahan yang besar, yaitu dalam cara menjabarkan hukum pidana dalam dunia usaha, dalam hal ini usaha perbankan.
3.      Pengertian tindak pidana ekonomi sesuai dengan UU No. 7 Drt. 1955 didasarkan pada kebijaksanaan ekonomi yang ditetapkan pemerintah pada saat itu. seharusnya kebijaksanaan itu didasarkan pada norma-norma yang bersifat tetap, berlaku umum serta mempunyai lingkup dunia usaha nasional dan internasional seperti dalam rumusan business crime dan business tort.
4.      Dalam tindak pidana ekonomi korban yang menonjol adalah kekayaan Negara. Untuk mencegahnya apakah tidak lebih baik jika sanksi yang dijatuhkan berupa pengembalian kerugian yang diderita negara lebih diutamakan. Atas dasar itu sanksi pidana dalam tindak pidana ekonomi bersifat ultimum remedium, sedangkan masalah-masalah pidana ekonomi diselesaikan secara dan sesuai dengan batas-batas hokum ekonomi itu sendiri. Sebagai gambaran tindak pidana ekonomi termasuk juga UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Lapor Perusahaan yang mengklasifikasikan sanksi pidananya dengan tindak pidana ekonomi.
5.      Dalam masalah hokum pidana ekonomi ini terdapat kaitan erat dengan tindak pidana subversi. Keduanya termasuk dalam tindak pidana ekonomi dalam arti luas. Dengan demikian definisi tindak pidana ekonomi dapat mencakup:
a.       Tindak pidana korupsi;
b.      Tindak pidana subversi;
c.       Tindak pidana pajak;
d.      Tindak pidana devisa;

e.       Tindak pidana penyelundupan, bea dan cukai.

Daftar Pustaka:
Sumantoro, Aspek-Aspek Pidana di Bidang Ekonomi. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990